Tidak. Aku tidak akan marah padamu. Kau tetap sahabatku. Ini
hanyalah batu kerikil yang sangat kecil dalam perjalanan panjang persahabatan
kita. Entah sepanjang apa kenyataannya, yang jelas aku menganggap ini akan
abadi sekalipun kau tidak sependapat denganku tentang keabadian yang baru saja
ku sebut.
Anggap saja apa yang ku katakan kemarin tak pernah ada. Atau aku
hanya bercanda. Anggap saja kita tak pernah membicarakan hal itu. Aku tau itu
sulit, bukan hanya untukmu tapi juga untukku. Pasti ada yang mengganjal di
antara kita setelah kejadian itu. Aku minta maaf padamu karena telah menodai
persahabatan yang telah sejak lama kita bangun. Suka mu adalah suka ku, duka mu
adalah duka ku, begitun sebaliknya. Hitam putih perjalanan kita berdua telah ku
simpan di hati yang terdalam. Aku sungguh minta maaf.
Sekarang rasanya berbeda. Kau tau tidak? Aku bingung harus kemana saat aku ingin bercerita tentang kejadian
yang kualami sepanjang hari. Cerita kesedihan atau kebahagiaan yang keluar dari
mulutku selalu kau dengar. Meskipun terkadang kau menampakkan wajah yang bosan.
Aku tau itu, tapi aku dengan sengaja tetap bercerita dan kau tetap mendengarkanku.
Kau sangat mengerti bahwa aku adalah orang yang paling sangat ingin di dengar
ceritanya. Saat aku sedang kacau seperti sekarang, kaulah orang yang paling
kurindukan. Orang yang selalu menjadi sandaranku selama ini. Sepertinya kau
benar-benar menjauh dariku.
Aku bergantung padamu. Juga bergantung pada semua fasilitas yang
kau beri untukku. Hingga akhirnya aku tak lagi bisa melihat laki-laki lain
disekitarku. Karna yang kupahami saat itu adalah aku memiliki kau. Kau yang
selalu ada untukku kapanpun aku butuh. Bahkan aku sempat berpikir bahwa aku
hanyalah benalu dihidupmu. Tapi kau menepisnya. Kau marah besar padaku saat itu
ketika ku katakan tentang ke-tidak-enak-an hatiku padamu. Aku merasa aku selalu
merepotkanmu. Tapi kau tidak pernah berpikir seperti itu. Kau selalu baik.
Bahkan terlalu baik padaku. Tak pernah terpikir olehku bahwa suatu saat kita
akan berjauhan.
Setelah kejadian itu, kau tak lagi datang padaku. Sama sekali
tidak. Tidak ada telepon, tidak ada sms, tidak ada bbm, apalagi untuk sekedar
mampir ke rumah. Mungkin kau benar-benar tak lagi mau menemuiku. Aku pahami itu
sepenuh hatiku. Aku telah mengecewakanmu. Mungkin ini memang pantas ku dapatkan
–seorang sahabat yang tidak tau berterima kasih-.
Sesungguhnya aku menyesal. Kau tau itu? Ya. Aku yakin kau pasti
tau tentang penyesalanku. Hanya saja kau tak mau tau yang lebih lagi tentangku.
Entah sampai kapan. Aku sangat menyesal. Seandainya aku bisa menahan perasaan
itu sejak awal, perasaan itu tidak akan tumbuh dan berkembang menjadi semakin
besar seperti ini. ‘Seandainya aku bisa menahan perasaan itu sejak awal?’ hah
tentu aku sangat bisa melakukannya, tapi aku malah dengan sengaja membiarkan
perasaan itu tumbuh dan berkembang. Hingga akhirnya aku tidak lagi bisa menahan
perasaan itu, dan ku tumpahkan semua padamu. Kau diam. Tak ada sepatah katapun
yang keluar dari mulutmu. Kau benar-benar diam. Bahkan tak ada ekspresi di
wajahmu yang bisa ku tebak. Sejurus kemudian kau pergi. Pergi dan tak kembali
hingga saat ini.
Apapun yang kau pikirkan tentangku, apapun yang kau katakan,
apapun yang kau lakukan, aku terima sahabatku. Seperti yang pernah ku katakan,
aku tidak marah padamu. Kau tetap sahabat terbaik bagiku.. Aku selalu percaya, ini
hanyalah batu kerikil yang sangat kecil dalam perjalanan panjang persahabatan
kita. Aku percaya maaf itu akan datang. Aku akan selalu menanti maaf darimu atas
kebodohan yang kulakukan –mencintai sahabat sendiri-.
The end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar